Nov 9, 2023
Artikel ini ditulis oleh Totok Waryanta
Potensi Pantai Samas di Yogyakarta sebagai objek wisata perlu dibangkitkan kembali. Namun, proses revitalisasi perlu memperhatikan kondisi dari masyarakat agraris yang ada di sekitarnya. Pendekatan seperti apa yang dapat digunakan untuk dapat mengakomodir semua kepentingan?
Pantai Samas adalah salah satu pantai yang paling ikonik di Yogyakarta pada era sebelum tahun 2000. Begitu terkenalnya pantai ini, wisatawan menganggap belum dikatakan berwisata ke Jogja apabila belum mengunjungi Pantai Samas. Kini, keadaan berubah drastis. Berbagai infrastruktur seperti : warung makan, tempat parkir, MCK telah rusak serta sampah berserakan sepanjang pantai. Pantai Samas terkesan kumuh, kotor dan tidak terawat.
Photo by Shannia Christanty on Unsplash
Tidak hanya itu, hasil kajian Afid Nurkholis, dkk (2016) menjelaskan bahwa sepinya kunjungan wisatawan ke Pantai Samas mulai dirasakan semenjak tahun 2013, tatkala terjadi abrasi di Pantai Selatan Yogyakarta. Pantai Samas termasuk pantai yang mengalami abrasi dan banjir terparah dan banyak kerusakan fasilitas wisata. Tidak cukup sampai disitu, Pantai Samas telah mendapat stigma sebagai Pantai Phuket ala Jogja yang banyak menyediakan layanan pekerja sex komersial.
Untuk kembali menghidupkan geliat wisata di Pantai Samas, pada tahun 2015 Gubernur Yogyakarta menginisiasi melakukan revitalisasi Obyek Wisata Pantai Samas. Sultan Jogja berkeinginan agar tanah sultan ground yang berada di sepanjang pantai untuk dibangun fasilitas obyek wisata seperti hotel, resort, penginapan, warung makan dan fasilitas wisata lainnya. Perkembangan terakhir, konsep penataan kawasan termasuk Detail Engineering Desain (DED) sudah ada dan tinggal menunggu momentum yang tepat untuk diimplementasikan.
Agraria vs Pariwisata?
Perlu di ketahui, Pesisir Samas berada sekitar 500 meter dari Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) yang sedang dikembangkan oleh Pemerintahan Jokowi dan direncanakan 2024 telah berfungsi. Di sebelah timur ada lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat untuk menopang kehidupan sehari-hari. Di bagian barat ditemukan lahan pertanian dengan berbagai jenis tanaman palawija, lombok, jagung, singkong, kacang dan lainya. Di sekitar persawahan ditemukan gumuk pasir dan pohon cemara yang membentang hingga pantai Pandansimo yang berbatasan dengan Kali Progo.
Sementara itu di sebelah utara JJLS terdapat lahan subur milik masyarakat yang cukup subur dan menjadi mata pencaharian penduduk. Namun demikian lahan tersebut telah mengalami proses fragmentasi lahan yang ditandai dengan luas lahan yang kecil dan sempit. Belajar dari pembangunan YIA, maka tidak menutup kemungkinan pembangunan ekowisata di Pantai Samas akan melahirkan proses kemiskinan sementara (transien poverty) — suatu fenomena masyarakat beramai-ramai meninggalkan usaha taninya dengan cara dijual dengan harga yang tinggi kepada pemilik modal untuk usaha non-pertanian.
Photo by Redicul Pict on Unsplash
Padahal, proses alih fungsi lahan tersebut bukan semata-mata berkaitan dengan mata pencaharian, akan tetapi petani tidak mudah untuk beralih pekerjaan ke sektor non-pertanian yang mendukung sektor pariwisata.(Gunawan, Endro Winarno, 2021). Kajian Tri Novitasari (2016) juga menemukan fakta bahwa masyarakat mempunyai harapan yang tinggi terhadap perekonomian mereka setelah dilakukan pembangunan jalur lintas selatan. Segala perubahan yang terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan dan dampak lingkungan yang ada, masyarakat telah siap menerima dan menghadapinya selama tidak melanggar berbagai peraturan yang ada.
Pada sisi lain, pembangunan Pantai Samas akan semakin memacu lahirnya pusat pertumbuhan baru di Selatan Yogyakarta. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Yuslina (2018) bahwa sepanjang Pesisir Kecamatan Kretek telah menjelma sebagai pusat pertumbuhan kedua setelah Kota Wates dalam interaksi dengan Kota Yogyakarta. Pusat pertumbuhan ini secara pelan namun pasti akan membutuhkan ruang dan lahan yang besar dan masif untuk berbagai kepentingan. Hasil kajian Ogi Dani Sakarof dan Galang Kaharap (2017) menggambarkan bahwa pola ruang perluasan kawasan wisata dan permukiman di Sepanjang Pesisir Bantul telah menggerus keberadaan lahan baik pertanian lahan basah maupun lahan kering. Dengan demikian, solusi apa yang bisa dilakukan dalam pembangunan revitalisasi Pantai Samas tanpa harus mengorbankan masyarakat maupun mengubah lahan pertanian ke non pertanian?
Diperlukan Pendekatan Perencanaan Kolaboratif
Menurut Iwan Darmawan dan Ikaputra (2021) penataan Pantai Samas yang paling tepat adalah pendekatan kolaboratif (collaborative planing). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang berbasis partisipatif masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga paska pembangunan. Pada tahap perencanaan, masyarakat sebagai subyek yang akan mendapat dampak langsung diberikan kesempatan yang besar untuk menyampaikan aspirasi terhadap pembangunan Pantai Samas. Dengan demikian, pemerintah dan pengembang akan memperoleh masukan terhadap rencana pembangunan. Sinkronisasi, kolaborasi dan sinergitas ini akan berkontribusi besar untuk mengikis berbagai kendala yang ada seperti: lingkungan hayati, aksebilitas, mitigasi bencana, kultur masyarakat, sosial dan ekonomi.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019 menegaskan bahwa:
konsolidasi tanah merupakan suatu kebijakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan ruang sesuai tata ruang serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Berdasarkan pengertian ini maka konsolidasi tanah tidak lain adalah pendekatan kolaboratif dalam pembangunan yang mengompromikan antara kebutuhan pemerintah dengan keinginan masyarakat sehingga diperoleh win-win solution. Dalam konteks revitalisasi Pantai Samas, konsolidasi tanah dapat berfungsi sebagai instrumen penataan lahan pertanian yang mendukung fungsi pengembangan pariwisata pesisir berbasis kolaborasi antara masyarakat, investor dan pemerintah.
Dalam konsolidasi tanah ada beberapa paradigma yang menjadi ruh dalam perencanaan kolaboratif. Paradigma pertama, konsolidasi tanah adalah membangun yang tidak menggusur. Masyarakat sebagai subyek pembangunan diberikan akses seluas-luasnya untuk menyampaikan harapannya dalam pembuatan visioning atau desain awal. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menyumbangkan sebagian tanahnya untuk pembangunan prasarana, sarana dan utilitas dalam rangka mendukung revitalisasi Pantai Samas. Keuntungannya, bagi masyarakat tidak tergusur dan bagi pemerintah memperoleh tanah untuk pembangunan tanpa harus mengeluarkan biaya pengadaan tanah yang mahal.
Paradigma kedua, konsolidasi tanah adalah membangun sambil menata. Melalui konsolidasi tanah Detail Engineering Desain (DED) yang telah lengkap akan lebih mudah diimplementasikan karena konflik kepentingan dapat dielaborasi oleh masyarakat maupun pemerintah. Konflik agraria yang muncul pada saat pembangunan YIA adalah contoh nyata adanya konflik kepentingan yang tidak terakomodasi sehingga masyarakat harus tergusur ke daerah lain. Dampak positifnya adalah tersedianya fasilitas sarana, prasarana dan utilitas akan mendongkrak land value menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, sistem pertanian yang dikembangkan tidak lagi secara tradisional namun secara modern dengan mengadopsi konsep corporate farming yang bersinergi dengan revitalisasi Pantai Samas.
Paradigma ketiga, konsolidasi tanah adalah membangun dengan memberikan kepastian hukum hak atas tanah milik masyarakat. Land secure tenure atau kepastian hukum atas aset lahan diberikan secara cuma-cuma sebagai kompensasi dan penghargaan kepada masyarakat peserta konsolidasi tanah yang telah sukarela menyumbangkan sebagian tanahnya untuk penyediaan tanah bagi kebutuhan infrastruktur, prasarana, sarana dan utilitas yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk revitalisasi Pantai Samas. Pemerintah daerah memperoleh sertifikat hak atas tanah pada infrastruktur, prasarana, sarana dan utilitas yang dapat dicatatkan sebagai aset pemerintah daerah. Dengan masyarakat dan pemerintah daerah sama-sama memperoleh manfaat berupa kepastian hukum atas tanah, yang akan berkontribusi besar untuk meminimalisasi potensi konflik agraria dan konflik sosial. Keuntungan lain, lahan pertanian tetap terjaga, tertata, bertambah nilai yang sejalan dengan dengan keuntungan revitalisasi Pantai Samas.
Revitalisasi Pantai Samas adalah suatu keharusan agar pengembangan kepariwisataan di Yogyakarta terus meningkat karena sektor ini menjadi penyumbang pendapatan daerah yang tidak sedikit. Namun demikian, pembangunan sektor pariwisata tidak boleh mengorbankan sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup masyarakat petani. Oleh karena itu pengembangan sektor pariwisata khususnya di Pantai Samas harus memakai pendekatan kolaboratif yang berbasis konsolidasi tanah agar diperoleh manfaat yang adil dan saling berkontribusi baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
Tentang Penulis
Totok Waryanta adalah penulis dan praktisi Pertanahan yang bekerja di Kementerian ATR/BPN. Karya Buku yang pernah ditulisnya antara lain: The Land Manager : Bank Tanah Indonesia (2022) dan Improve Without Remove : Penataan Kawasan Beebasis Konsolidasi Tanah (2022). Waryanta juga merupakan seorang ahli sebagai trainer Geographic Information System (GIS) dan Analis Pertanahan